KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena perkenankan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata pelajaran Sejarah.
Makalah dengan “ ORDE BARU “ ini disusun untuk melengkapi tugas dari guru mata pelajaran Sejarah sebagai bahan pelengkap bahan materi pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Palu.
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini, sehingga masih diperlukan pembenahan. Saran dari pembaca sangat diperlukan demi kelengkapan materi “ ORDE BARU “. Atas saran dan kritik yang membangun diucapkan terima kasih.
Palu, 26 September 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
a. Latar Belakang 3
b. Pokok Permasalahan 4
BAB II
Pembahasan
1. Sikap pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa 5
2. Dampak sistem pemerintahan Orde Baru 7
3. GP Ansor dalam Orde Baru 8
4. Akhir pemerintahan Orde Baru 13
BAB III
Penutup
Kesimpulan 15
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan Indonesia pada periodisasinya mengalami beberapa pembabakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Indonesia dimulai dari jaman Indonesia Purba yang merupakan awal keberadaan manusia di Indonesia. Dilanjutkan dengan jaman Indonesia Kuno yang didalamnya membahas kehidupan masyarakat Indonesia pada masa-masa kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha antara lain, Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya yang dijadikan sebagai tolok ukur masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Jaman Indonesia Madya merupakan kejayaan bangsa Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan bercorak Islam antara lain Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Gowa-Tallo dan lainnya.
Jaman Indonesia Baru merupakan babak dimana masyarakat Indonesia mulai terbuka wawasannya untuk melepaskan diri dari penjajahan yaitu dengan memulai adanya Pergerakan Nasional Indonesia sampai ke jaman Kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka Indonesia memulai kehidupan bernegaranya dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama yang dipilih sesuai dengan Pasal 3 UUD 1945 yaitu “ Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah orang asli Indonesia”. Dengan dasar tersebut terpilihlah Ir. Soekarno sebagai Presiden dan didampingi oleh Drs Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia. Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno dengan Drs Moh. Hatta inilah yang disebut sebagai babak Orde Lama.
Pasca G 30.S/PKI keadaan bangsa Indonesia semakin terpuruk sehingga pemusatan massa terjadi dimana-mana. Hal ini menyebabkan keadaan menjadi serba tidak menentu dan sulit dikendalikan, agar bisa lepas dari keadaan tersebut maka pemerintah kemudian memberikan mandat kepada Letkol Soeharto agar segera mengambil langkah cepat untuk memulihkan keadaan. Mandat tersebut dikenal dengan “ SUPERSEMAR” atau Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Negara Republik Indonesia sebagai pengganti Presiden Soekarno. Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru yang menggantikan Orde Lama merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini diberangi oleh praktek korupsi yang merajalela di Negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, setelah sebelumnya dia ditunjuk sebagai Pejabat Presiden menggantikan posisi Presiden Soekarno yang dinon aktifkan dari jabatannya. Soeharto kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama dan menempuh kebijakan melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif, anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan lingkungan keluarga “Cendana”. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah,
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan antara lain:
1. Bagaimana sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa.
2. Apa saja dampak yang ditimbulkan dan Sistem Pemerintahan Orde Baru.
3. Bagaimana peranan GP Ansor dalam Sejarah Orde Baru.
4. Bagaimana akhir Pemerintahan Orde Baru.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi, sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap warga Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada dibawah warga pribumi, yang secara tidak langsung tidak menghapus hak-hak mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian bahasa Mandarin dilarang. Meski kemudian hal ini di perjuangkan oleh komunitas China Indonesia terutama dari komunitas pengobatan China tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan bahasa Mandarin.
Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu member izin dengan catatan bahwa China Indonesia berjanji tidak akan menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti member penghormatan bagi Ikatan Naturopatis Indonesia (INI) yang anggota dan pengurusnya pada waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat china dan kesehatan rakyat Indonesia. Hingga China Indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar bahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang China Indonesia juga bekerja disana.agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu ± 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolajk belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
7-16Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
2. Dampak Sistem Pemerintahan Orde Baru.
Dalam suatu bentuk pemerintahan yang berlangsung, selalu ada dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pelaksanaan segala kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ø Kelebihan Sistem pemerintahan Orde Baru
· Perkembangan GNP (Gross National Product) per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1000 . Keberhasilan pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan pemebangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu presentasi besar bagi bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan itu antara lain tingkat GNP pada tahun 1997 mencapai US$ 1200 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dan inflasi dibawah 3%. Ditambah lagi dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
· Sukses transmigrasi yang merupakan upaya pemerintah untuk meratakan jumlah penduduk agar tidak berpusat disatu titik saja, yaitu di Jawa tapi masyarakat Indonesia disebar keseluruh wilayah Indonesia yang daerahnya luas tetapi jarang penduduk, dan atau pemindahan suatu masyarakat ke daerah lain kareana daerah asal digunakan untuk pembangunan fasilitas umum seperti waduk, bendungan, dan lain sebagainya. Transmigrasi ini biasa disebut sebagai “ Bedol Desa “.
· Sukses KB dalam rangka pengendalian pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang sangat tinggi karena kurangnya pengetahuan masyarakat.
· Sukses memerangi Tiga Buta yaitu buta aksara, buta angka dan buta bahasa dengan melaksanakan program “Wajib Belajar” bagi anak usia 6-12 tahun, serta pelaksanaan Program Kejar Paket A, B, dan C. Kejar (Kelompok Belajar) Paket A untuk penyetaraan pendidikan tingkat SD, Kejar Paket B untuk penyataraan pendidikan tingkat SMP, Kejar Paket C untuk penyetaraan pendidikan tingkat SMA. Yang dilaksanakan di setiap desa-desa diseluruh penjuru Indonesia.
Ø Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
· Semaraknya budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang berkembang dalam birokrasi pemerintahan Negara Indonesia bahkan sampai ke tingkat yang terendah.
· Pembangunan Indonesia yang tidak merata karena segala fasilitas dan pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa dan Madura sehingga daerah-daerah jauh dari Pusat luput dari jangkauan pembangunan dan perhatian dari pemerintah Pusat
· Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
· Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, demokrasi tidak dibebaskan dalam pelaksanaannya, pihak yang menentang pemerintah penguasa akan disingkirkan.
· Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak Koran dan majalah yang dibreidel.
· Utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 137 milliar, utang swasta sebesar 635 DAN bumn atau pemerintah sebesar 37%
3. GP Ansor dalam Sejarah Orde Baru
Setelah kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekat membangun dicanangkan UU Penanaman Modal asing (10 Januari 1967), kemudian penyerahan kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Mater 1967) sebagai Jabatan Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam kongres VII GP ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, yang dibubarkannya PKI dan diharamkannya komunisme, Marxisme dan Laninisme di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kekecewaan terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesame Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKi dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana kongres VII, dengan demiklian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
· Kongres VII 1967
Kongres VII 1967 GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-24 Oktober 1967. Hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution; H. Imron Risyadi; SH(mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI) kongres kali ini merupakan moment paling tepat untk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok (1) Penyempurnaan Organisasi; (2) Program perjuangan gerakan; dan (3) Penegasan polotik gerakan.
· Menolak Kembalinya Kekuatan Totaloter
Sesungguhnya kongres juga telah memprediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: Menolak kembalinya pemerintahan tiran. Oerde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya member kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin {emerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaloter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian In The Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
· Masalah Toleransi Agama
Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan pemberontak fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan.
Dakwah-dakwah semakin dibatasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijakan di kalangan ABRI yang sangat merugukan partai Islam dan Umat Islam.
· Bidang Organisasi
Dalam hal penyempurnaan oganisasi, jahja Ubaid mengemukakan “Ansor hanya bergantung pada kekuatan gerakan sendiri. Tekad untuk mandiri ini sesungguhnya sudah tercetus sejak kongres VII. Jika kini GP Ansor selalu menyatakan gagasan kemandiriannya, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tekad yang telah dokobarkan sejak lama itu.
Tekad itu tercermin dari beberapa keputusan, baik mengenai pemberian wewenang maupun otonomi pimpinan wilayah dan cabang serta upaya pembentukan badan usaha Ansor. Sejak kongres VII pimpinan wilayah diberikan wewenang mengesahkan pengurus departemen di tingkat cabang , dan begitu pula pim[inan cabang tehadap pengurus dibawahnya. Selain itu, pimpinan wilayah di beri hak mengeluarkan kartu anggota di wilayah masing-masing dengan petunjuk dari pucuk pimpinan.
Di bidang danaa, pimpinan wilayah diperbolehkan mendirikan usaha untuk menghidupi organisasi, sedang, di pucuk pimpinan telah terbentuk yayasan Dharma Pemuda yang akan mengusahakan dana bagi pembiayaan PP GP Ansor. Sedangkan pengurus yayasan adalah: H. Anwar Hadisujatno (Ketua), HA. Chalid Mawardi (Wakil Ketua), H. Abdul Aziz (Wakil Ketua), H.M. Danial Tanjung (Sekretaris), Hadi Wurjan SH (Wakil Sekretaris), dan Drs. Djawahira (Bendahara).
· Federasi Pemuda Indonesia
Seperti diketahui pada saat penumpasan G 30 S/PKI, ketua umum GP Ansor, Jahja Ubaidadalah juga Ketua Presidium Front Pemuda Pusat. Beranggotakan Sembilan organisasi pemuda. Dalam kongres VII sikap kepeloporan Ansor bagi pembentukan wadah federative itu di pertegas kembali. Kongres mengamanatkan kepada PP GP Ansor agar secara terus menerus meningkatkan kepeloporannya dalm mempersatukan pemuda Indonesia.
Bertolak dari amanat itu, maka tanggal 28-30 Januari 1968 di Jakarta diadakan rapat kerja Presidium front Pemuda Pusat. Hasilnya, nama Front Pemuda yang berbau revolusioner itu diubah menjadi Federasi Gerakan Pemuda Indonesia. Jahja Ubaid terpilih kembali sebagai ketua umumnya. Sedangkan Sembilan organisasi yang membentuk federasi itu adalah: Pemuda Ansor, Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Khatolik, Pemuda Muslimin, P31/Soski, GAMKI, Pemuda Islam dan Pemuda Marhaenis. Adalah fakta bahwa Ansor merupakan pelopor terbentuknya federasi Pemuda Indonesia. Sebuah federasi yang tentunya menjadi embrio KNPI. Sebagai organisasi pemuda, dengan demikian. GP Ansor telah mengimplementasikan komitmen kepemudaanny, yakni pemuda Indonesia.
· Konverensi Besar 1969
Tidak banyak yang dilaporkan pada konbes, kecuali penegasan polotik gerakan yang diputuskan di kongres. Hal menarik, agaknya, soal hubungan Ansor dengan NU. Dalam laporan kebijakan politik GP Ansor pada konbes disebutkan, antara lain, pengulangan ikrar GP Ansor, pembela dan penjunjung tinggi yang setia dan terpercaya dan cita-cita partai NU, dan karena itu is harus ikut menentukan garis politik Partai NU.
Atas dasar itu, pucuk pimpinan tak henti-hentinya menyampaikan kepada ketua PBNU. Juga dalam setiap peertemuan dengan NU, PP GP Ansor senantiasa berupaya untuk mencapai dua sasaran:
a) Menghilangkan syakwaangka yang mungkin ada terhadap gerakan dan dengan demikian berusaha meyakinkan atas maksud baik gerakan.
b) Menyarankan agar tetap menjaga kepemimpinan yang kompak dan kolegial dalam PBNU.
· Konverensi Besar 1979
Lingkungan Internal, mendorong GP Ansor untuk tampil sebagai pembela dan penjunjung tinggi cita-cita partai sebagai pembela, tentu mengarahkan segala daya untuk keselamatan yang dibela. Bahkan dalam segala peristiwa apapun, si pembela harus mampu menunjukan kesungguhan sebagai pembela. Bila perlu, ia harus melawan tuntutan jaksa.
Lingkungan Eksternal waktuitu hanya menginginkan kokohnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini wajar karena kesalahan pemerintah Orde Lama menuntut pembenahan secepatnya di segala sector. Untuk itu, sejak pengukuhan Jenderal Soeharto sebagai Presiden (Maret 1968), format politik mulai ditata. Menurut Alfian, dalam menciptakan format politik baru itu, Soeharto banyak berorientasi pada pengalaman sejarah.
Harus diakui bahwa perjalanan memantapkan format politik baru itu, banyak terjadi benturan keras terutama dari NU. Puncaknya pada pemilu 3 Juli 1971 dimana NU berhadapan dengan GOLKAR, selanjutnya disusul pembentukan KORPRI (29 Novenber 1971) dan seterusnya (5 Januari 1973) fusi 5 partai Islam menjadi PPP, maka lengkaplah penderitaan NU dan GP Ansor. Sebagai ilustrasi, peran GP Ansor sebagai patut dipertanyakan. Sebab, nyatanya, bukan yang dibela saja yang terguling, tapi juga dia sendiri ikut pingsan. Setelahfusi menjadi PPP, eksistensi organisasi NU maupun GP Ansor sepertinya lenyap bahkan dimana-mana (termasuk dikalangan pemerintah), muncullah anggapan bahwa NU maupun GP Ansor telah tida.
· Kongres IX 1985
Kongres IX ini berlangsung sejak tanggal 19-23 Desember 1985 di Bandar Lampung. Seperti telah disingung, bahwa terkecuali kongres IX, persaingan itu berlangsung begitu ketat. Baru berakhir setelah kongres memilih Drs. Slamet Effendi Yusuf sebagai Ketua Umun. Terpilihnya Drs. Slamet Effensi Yusuf (sebelumnya wakil sekjen) adalah jawaban dari adanya konflik.
Meski begitu, bukan berarti kongres pasca asas tunggal ini hanya didominasi konflik. Beberapa keputusan penting, baik yang menyangkut program kerja, penyempurnaan adat AD/ART (penetapan Pancasila sebagai asas organisasi) dan pokok-pokok pikiran tentang ideologi, pemilihan umum, pendidikan dan kepemudaan berhasil dirumuskan. Bahkan sikap GP Ansor terhadap ketiga kekuatan social politik pun degariskan dengan istilah popular eguil-distance. Memberikan jarak yang sama secara aktif.
Hal menarik dari kongres Sembilan adalah dikukuhnya Deklasrasi Semarang dan Triprasetya Ansor, dalam pokok program GP Ansor periode 1985-1989 pada bidang doktrin dan kepribadian. Ini berarti gerakan akan senantiasa mengacu pada tiga komitmen dasar tadi. Konsekuensinya terhadap pengelolaan organiasasi mesti ditempuh secara professional kepemudaan. Artinya, semua pengurus gerakan disetiap eselon harus bersungguh-sungguh mengelola organisasi. Tapi tetap berpijak pada kepentingan kepemudaan, ke-Indonesia dan ke-Islaman atau keagamaan.
4. Akhir Pemerintahan Orde Baru.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat.
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hokum. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap awal munculnya Orde Baru. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus memeprtahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan ekses-ekses negative yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
Di tengah gejolak kemarahan masa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang wakil Presiden B.J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, kemudian digantikan “Era Reformasi”. Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hokum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru yang menggantikan Orde Lama merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini diberangi oleh praktek korupsi yang merajalela di Negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama dan menempuh kebijakan melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif, anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan lingkungan keluarga “Cendana”. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah,
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi, sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap warga Negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada dibawah warga pribumi, yang secara tidak langsung tidak menghapus hak-hak mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian bahasa Mandarin dilarang.
Ø Kelebihan Sistem pemerintahan Orde Baru
· Perkembangan GNP (Gross National Product) per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1000 . Tingkat GNP pada tahun 1997 mencapai US$ 1200 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dan inflasi dibawah 3%. Ditambah lagi dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
· Sukses transmigrasi
· Sukses KB
· Sukses memerangi Tiga Buta yaitu buta aksara, buta angka dan buta bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar